PERADABAN ARAB SEBELUM ISLAM
Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum berperadaban, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah”. Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam. Hanya saja baca tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai penting, tidak pula menjadi tolak ukur kepintaran dan kecendikiaan seseorang.[1]
Masyarakat
Arab lama (sebelum Islam) memiliki keyakinan animisme, ialah sebuah paham yang
beranggapan bahwa setiap benda mempunyai roh, dan roh tersebut memiliki kekutan
ghaib yang disebut Mana dan dikenal sebagai “Kaum Watsani” yaitu kaum yang
mengganggap Tuhan mereka dalam bentuk patung-patung sesembahan yang mereka
anggap sebagai perantara dengan Tuhan. Mereka percaya akan Tuhan yang Esa, namun
mereka juga meyakini adanya roh-roh penguasa yang dianggap dan diperlakukan
sebagai Tuhan.[2]
Bangsa
Arab secara sosial adalah bangsa yang ummiy, kondisi seperti ini membuat mereka
tidak akan dapat membangun sebuah aturan dan meletakkan dasar-dasar perundang-undangan
yang dapat menjamin sebuah kehidupan yang stabil. dari sisi akhlaknya sebelum
datangnya Islam, suka berkhianat dan mencuri. Mereka hidup sebagai penggembala
kambing di pelosok kampung. Mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup karena
sedikitnya air hujan yang turun tidak teratur, sehingga mereka banyak melakukan
perampokan dan pencurian.[3]
Makkah
merupakan kota penting pada waktu itu, baik karena tradisi maupun karena
kedudukannya. Di samping berhadapan dengan agama politeisme yang telah mengakar
kuat, ajaran Nabi Muhammad saw. juga harus melawan oposisi dari pemerintahan
oligarki. Dakwah Nabi Muhammad saw yang menyeru kepada Islam dianggap sebagai
perusakan terhadap tatanan masyarakat yang dianut oleh kalangan bangsawan.
Inilah yang menyebabkan terjadinya banyak konflik.[4]
Ada
lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam, yaitu: 1)
Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira
bahwa tunduk kepada seruan Muhammad saw berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani
Abdul Muthalib. Hal ini sangat tidak mereka inginkan; 2) Nabi Muhammad saw
menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan budak. Hal ini tentu tidak
disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy; 3) Para pemimpin Quraisy tidak dapat
menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat; 4)
Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat-berakar pada bangsa
Arab; 5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[5]
Ketika
Nabi Muhammad saw sampai di Madinah, beliau dihadapkan pada persoalan bagaimana
menata masyarakat yang kompleks. Pada waktu itu penduduk Madinah terdiri dari:
1) Muslim pendatang dari Mekkah; 2) Muslim Madinah (kaum Anshar) yang terdiri
atas suku Aus dan Khazraj; 3) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah
berhala, sebagian kemudian masuk Islam; 4) Orang-orang Yahudi yang terbagi
dalam tiga suku utama: bani Qainuqa’, bani Nazhir, bani Quraizhi; serta subsuku
yang lain.[6]
Secara
internal, kondisi umat Islam pada periode Madinah sudah semakin kuat. Beberapa
pelaksanaan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di antaranya : 1) dakwah
bil-lisan dengan mempersaudarakan antara anshor dan muhajirin; 2) dakwah sosial
dengan menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan, persamaan, toleransi, tolong
menolong dan keadilan; 3) dakwah perundingan melalui kesepakatan piagam
Madinah; 4) dakwah perundingan melalui Perjanjian Hudaibiyah; 5) dakwah
bil-qital melalui peperangan diantaranya perang Badar, Uhud dan Khandak; 6)
dakwah bil-kitabah melalui pengiriman surat dan da’i ke luar negeri.[7]
Ketika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di
Madinah, di wilayah itu sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain:
Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa
Aus dan Khazraj, orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu
Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di
Utara.[8]
Untuk kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada
solidaritas sebagai sesama muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini
sangat rentan sekali terjadi konflik. Maka untuk menghentikan potensi konflik
antar Bani Aus dan Bani Khazraj, juga dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW
setelah berdiskusi dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah
sahabat membuat sebuah dokumen perjanjian tertulis. Dalam dokumen yang kemudian
dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan sejumlah hak dan kewajiban kewajiban
bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di Madinah.[9]
Sejumlah referensi menyebutkan Piagam Madinah
dibuat sekitar tahun 622 Masehi di awal-awal Nabi Muhammad SAW dan umat Islam
tiba di Madinah, yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib. Berikut ini isi
Piagam Madinah yang redaksinya dikutip dari Buku Sejarah Hidup Muhammad karya
Muhammad Husain Haekal.[10]
Setelah ditinggal oleh Nabi Muhammad Saw, perjuangan untuk menyebarkan
islam beralih kepada empat sahabat terdekat beliau, yang dikenal dengan sebutan
khulafaur rasyidin. Khulafaur rasyidin adalah para khalifah yang menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad Saw, sebagai pemimpin negara. Jadi, setelah beliau
wafat, posisi kepemimpinan (negara dan umat) diteruskan oleh mereka.[11]
Dengan demikian Al-Khulafa ar-Rasyidin bermakna sebagai pengganti-pengganti
Rasul yang cendekiawan. Adapun pencetus nama Al-Khulafa ar-Rasyidin adalah dari
orang-orang muslim yang paling dekat dengan Rasulullah Saw, setelah
meninggalnya beliau. Mengapa demikian, karena mereka menganggap bahwa empat
tokoh sepeninggal Rasulullah Saw, itu orang yang selalu mendampingi Rasulullah
Saw, ketika beliau menjadi pemimpin dan dalam menjalankan tugas-tugasNya.[12]
Khalifah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan sebuah tanggung
jawab yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut, seorang Khalifah
berkewajiban untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum muslimin,
Khalifah lah orang pertama yang paling bertanggung jawab. Para khalifah
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam, mereka
bertugas sebagai: 1) Pemimpin umat Islam; 2) Penerus perjuangan Nabi Muhammad
Saw, dengan bersandarkan kepada Alquran dan sunnah Nabi; 3) Kepala negara dan
kepala pemerintah, serta; 4)Mengembangkan dan memperluas wilayah Islam.[13]
Abdul
Syukur al-Azizi. “sejarah terlengkap peradaban islam,” 62. Yogyakarta, 2017.
Efrinaldi.
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan.” Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 2, no. 2 (2017).
Ely
Zainuddin. “peradaban islam pada masa khulafaur rasyidin.” Jepara vol.03, no.
01 (2015): 51.
M.A,
Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Amzah,
2022.
Muzhiat,
Aris. “Historiografi Arab Pra Islam.” Tsaqôfah: Jurnal Agama dan Budaya 17, no.
2 (Desember 2019).
Ridwan,
Muannif, Adrianus Chatib, dan Fuad Rahman. “Sejarah Makkah dan Madinah pada
Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta
Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam).”
Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 7, no. 1 (12 Oktober 2021).
Rizem
Aizid. sejarah peradaban islam terlengkap. yogyakarta, 2021.
Rustandi,
Ridwan, dan Syarif Sahidin. “Analisis Historis Manajemen Dakwah Rasulullah Saw
dalam Piagam Madinah.” Tamaddun 7, no. 2 (Desember 2019).
Sairazi,
Abdul Hafiz. “Kondisi Geografis, Sosial Politik dan Hukum di Makkah dan Madinah
pada Masa Awal Islam.” Journal of Islamic and Law Studies 3, no. 1 (Juni 2019).
[1] Muzhiat, “Historiografi Arab Pra
Islam,” h. 131.
[2] Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan
M.A, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Amzah, 2022), h. 8.
[3] Ridwan, Chatib, dan Fuad Rahman,
h. 6.
[4] Abdul Hafiz Sairazi, “Kondisi
Geografis, Sosial Politik dan Hukum di Makkah dan Madinah pada Masa Awal
Islam,” Journal of Islamic and Law Studies 3, no. 1 (Juni 2019): h.124.
[5] Sairazi, h. 125.
[6] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam:
Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” Al-Imarah:
Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 2, no. 2 (2017): h.92.
[7] Rustandi dan Sahidin, “Analisis
Historis Manajemen Dakwah Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah,” h. 371.
[8] Efrinaldi, “Paradigma Politik
Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 94.
[9] Efrinaldi, “Paradigma Politik
Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 94.
[10] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam
Terlengkap (yogyakarta, 2021), hal.183.
[11] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban
Islam Terlengkap (yogyakarta, 2021), hal.183.
[12] Ely Zainuddin, “Peradaban Islam
Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Jepara vol.03, no. 01 (2015): h. 51.
[13] Abdul Syukur al-Azizi, “Sejarah
Terlengkap Peradaban Islam” (yogyakarta, 2017): h. 62.
Komentar
Posting Komentar