SEJARAH PERADABAN ISLAM
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut Tarikh, berasal dari akar kata
ta’rikh dan taurikh, yang menurut bahasa berarti ketentuan masa, pemberitahuan
tentang waktu, dan kadangkala kata tarikhus-say-i menunjukkan arti pada tujuan
masa berakhirnya suatu peristiwa. Sedang menurut istilah berarti “Keterangan
yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa
yang masih ada. Oleh sebab itu, menurut Sayyid Quthb “Sejarah bukanlah
peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa itu, dan pengertian
mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian
serta memberinya dinamisme waktu dan tempat”.[1]
Pengertian sejarah secara
etimologi berasal dari kata Arab syajarah artinya “pohon”. Dalam bahasa Inggris
peristilahan sejarah disebut history yang berarti pengetahuan tentang
gejala-gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis. Oleh karena itu
dapat dipahami bahwa sejarah itu adalah aktivitas manusia yang berhubungan
dengan kejadian-kejadian tertentu yang tersusun secara kronologis.[2]
Sedangkan kata peradaban adalah terjemahan dari kata Arab al Hadharah.
Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan. Padahal istilah
peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang
halus dan indah. Peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan
yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan
dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[3]
Dalam definisi
peradaban yang dimaksud disini yakni Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
Saw yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak
terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, dan
cepat mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat
penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.[4]
kebudayaan atau
peradaban sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia mempunyai wujud. Menurut
pendapat yang umum, Widyosiswoyo mengemukakan bahwa wujud kebudayaan ada dua.
Pertama, wujud kebudayaan badaniah (berwujud material) yang dapat dilihat,
diraba, dipegang, dan dirasa karena bersifat konkret (berbentuk). Kedua, wujud
kebudayaan rohaniah (nonmaterial) yang hanya dapat dirasa karena bersifat
abstrak (tidak berbentuk) sehingga sulit dipahami. Koentjaraningrat berpendapat
bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu 1) wujud kebudayaan sebagai kompleks
dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain yang sejenis; 2)
wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat; dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud kebudayaan berupa ide termasuk wujud kebudayaan rohaniah yang dapat
dirasakan, tetapi tidak dapat dilihat dan diraba, seperti adat istiadat,
filsafat, dan ilmu pengetahuan. Wujud kebudayaan berupa pola kelakuan manusia
dapat dirasakan dan dilihat, tetapi tidak dapat diraba, seperti gotong royong
sebagai wujud kebudayaan badaniah. Begitu pula wujud kebudayaan berupa
benda-benda hasil karya manusia dapat dilihat, dirasakan, dan diraba, seperti
bangunan, kendaraan bermotor, jembatan, dan rumah ibadah yang mempunyai bentuk
adalah wujud kebudayaan badaniah.[5]
Ajaran Islam terdiri
atas dua kelompok. Pertama, ajaran dasar dari dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Kedua, pemikiran yang ditampilkan dalam sejarah melalui hasil ijtihad,
interpretasi, penafsiran dan penjabaran atas ajaran dasar tersebut. Sedangkan kelompok
kedua, yang dimaksud dengan agama dalam arti kebudayaan yang digali dari ajaran
dasar. Islam dalam arti kebudayaan atau peradaban adalah produk dari hasil pemahaman
ulama terhadap ajaran dasar (Al-Qur’an dan hadist) yang menghasilkan pemikiran
dari berbagai aspek kemudian menjadi ilmu pengetahuan, seni, teknologi serta
perilaku umat. Oleh karena itu, disebut peradaban Islam karena Al-Qur’an dan hadist
sebagai sumber inspirasi perkembangan peradaban Islam.[6]
Adapun dalam penulisan sejarah, demikian pula sejarah peradaban Islam, metode yang dapat digunakan adalah metode deskriptif, komparatif, dan analisis sintetis.
A. Metode Deskriptif
Metode ini ditunjukkan untuk menggambar adanya peradaban Islam tersebut,
maksudnya ajaran Islam sebagai agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad yang berhubungan
dengan peradaban diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami
yang terkandung dalam sejarah tersebut.
B. Metode Komparatif
Metode ini merupakan metode
yang berusaha membandingkan sebuah perkembangan peradaban Islam dengan peradaban
Islam lainnya. Melalui metode komparatif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam
tersebut dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam
waktu serta tempat-tempat tertentu untuk mengetahui adanya persamaan dan
perbedaan dalam suatu permasalahan tertentu.
C. Metode Analisis Sintesis
Metode ini dilakukan dengan
melihat sosok peradaban Islam secara lebih kritis, ada analisis dan bahasan
yang luas serta kesimpulan yang lebih kritis, ada analisis dan bahasan yang
luas serta kesimpulan yang spesifik. Dengan demikian, akan tampak adanya
kelebihan dan kekhasan peradaban Islam.[7]
Siti
Zubaidah. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing, 2016.
Sulthon
Mas’ud. “Sejarah Peradaban Islam,” November 2014.
Suyuthi
Pulungan. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2017.
Syamruddin
Nasution. Sejarah Peradaban Islam. Riau: Yayasan Pustaka Riau, 2013.
[1] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban
Islam, 14.
[2] Syamruddin Nasution, Sejarah
Peradaban Islam, 18.
[3] Syamruddin Nasution, Sejarah
Peradaban Islam, 20.
[4] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban
Islam, 17.
[5] Suyuthi Pulungan, 17–18.
[6] Suyuthi Pulungan, Sejarah
Peradaban Islam, 15.
[7] Sulthon Mas’ud, “Sejarah Peradaban
Islam.”
Komentar
Posting Komentar