WALI SONGO DAN ISLAM DI INDONESIA
A. PERAN WALI SONGO TERHADAP DAKWAH ISLAM DI INDONESIA
Pengaruh Islam sangat kuat di
daerah-daerah pesisir Utara Pulau Jawa, bahkan sejak abad XI telah muncul
beberapa pemukiman orang Islam. Kemudian semakin berkembang hingga abad XV-XVI.
Bagi masyarakat muslim Indonesia, sebutan Wali Songo memiliki makna khusus yang
dihubungkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang berperan
penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan ke-16
Masehi.[1]
Kata Wali Songo merupakan kata majemuk
yang berasal dari kata wali dan songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab,
suatu bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti ‘orang yang mencintai dan
dicintai Allah’. Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti
‘sembilan’. Jadi, Wali Songo berarti ‘wali sembilan’, yakni sembilan orang yang
mencintai dan dicintai Allah. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok dari
sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan dakwah Islam di
daerah-daerah yang belum memeluk Islam di Jawa. Peranan para wali dalam
pengembangan Islam di Pulau Jawa sangat besar, terutama kelompok Wali Songo. 2
Peranan Wali Songo dapat dibentuk dalam beberapa bidang, seperti bidang
pendidikan, bidang politik, dan yang paling terkenal ialah bidang dakwah.[2]
1. Bidang
Pendidikan
Peran Wali Songo di bidang pendidikan
terlihat dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang
dilakukan oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel
mendirikan pesantren di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus
menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah ia
mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke
berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan
Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan
Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam
Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubaligh yang mempunyai andil besar dalam
islamisasi Pulau Jawa. Sedangkan Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah
Giri. Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia
mengirim juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti
Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Sunan Bonang memusatkan kegiatan
pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren yang didirikan di daerah Tuban.
Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah,
putra raja Majapahit, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak.
Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.[3]
2. Bidang
Politik
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Wali Songo mempunyai peranan yang sangat
besar. Di antara mereka menjadi penasihat Raja, bahkan ada yang menjadi raja,
yaitu Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana
Majapahit. Istrinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja
Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana
membuat penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan
mendapat restu dari penguasa kerajaan Sunan Giri, fungsinya sering dihubungkan
dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting
yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan
pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak
Bintoro.[4]
3. Bidang
Dakwah
Sudah jelas sepertinya, peran Wali Songo cukup dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubaligh, Wali Songo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil. Salah satu karya yang bersejarah dari Wali Songo adalah mendirikan masjid Demak. Hampir semua Wali Songo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin oleh para Wali Songo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke dalamnya. Syair dari lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukannya atau menyembah yang lain.[5]
B. MODEL PENYEBARAN ISLAM WALI SONGO
Hasil sukses yang diperoleh Wali Songo
dalam menyebarkan dakwah Islam di tanah Jawa tidak bisa lepas dari metode yang
dipakai kala itu, yaitu: Pertama, berdakwah melalui jalur keluarga atau
perkawinan. Kedua, adalah dengan mengembangkan pendidikan pesantren yang
mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, metode Pendidikan
pesantren adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendidikan
biara dan asrama yang dipakai pendeta dan biksu dalam mengajar dan belajar.
Ketiga, adalah dengan mengembangkan kebudayaan Jawa dalam, kebudayaan Jawa Wali
Songo memberikan andil yang sangat besar. Keempat, adalah metode dakwah melalui
sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat. Kelima,
dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di tanah Jawa, para wali menggunakan
sarana politik untuk mencapai tujuannya.[6]
Tahapan pendekatan penyebaran agama Islam
yang ada di Pulau Jawa dilakukan dengan cara yang selanjutnya dapat diserap dan
dipahami nilai-nilai agama Islam menjadi bagian dari kebudayaan jawa. Ada dua
pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan yang disebut dengan
Islamisasi Kultur Jawa, di mana dalam pendekatan ini agar budaya Jawa nampak
dalam nuansa Islam. Misalnya, mengganti dan menggunakan istilah dan nama-nama
yang bercorak Islam, baik nama tokoh dalam wayang kulit maupun penerapan hukum
serta aturan-aturan yang meliputi aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat
jawa.[7]
2) Pendekatan Jawanisasi Islam, yang disebut sebagai suatu upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam dengan cara menyisipkan ke dalam budaya yang ada di Jawa, meskipun nama serta istilah yang ada di Jawa tetap digunakan, namun nilai yang ada dalam nilai Jawa sehingga Islam menjadi istilah Islam menjawa. Yang kemudian muncullah istilah Islam Jawa atau sering disebut dengan Islam Kejawen di mana produk budaya yang ada di Jawa cenderung mengacu atau menitik pada keberadaan Islam.[8]
C. KEMAJUAN PERADABAN ISLAM PADA MASA WALI SONGO
Ada tiga hal pokok yang diubah oleh Wali
Songo dalam proses penyesuaian dengan ajaran Islam: Pertama, kebiasaan samadhi
sebagai puji mengheningkan cipta diubah menjadi shalat wajib. Kedua, kebiasaan
sesaji dan ketutug diubah menjadi pemberian shadaqah. Ketiga, adat kebiasaan
yang meniru dewa dalam upacara perkawinan seperti menanam Pohon Klepu Dewadaru,
menabuh gamelan Lokananta, nyanyian wanita yang mengeluelukan kehadiran dewa
dalam gerak tari “tayuban” dihilangkan dengan jalan kebijaksanaan sehingga dapat
membuka hati rakyat banyak.[9]
Peradaban Islam sangat berkembang pada
masa Wali Songo, dengan dukungan kerajaan Demak. Tidak hanya di Pulau Jawa,
kontak dengan Islam berikutnya juga terjadi di berbagai pulau di Nusantara,
perkembangannya seiring dengan tujuan perdagangan atau semata-mata kerena
pengajaran agama Islam. Hal ini dilakukan tidak terjadi dalam kurung waktu yang
bersamaan, misalnya kontak Islam dengan Aceh dan Palembang pada abad VII M. Di
Jawa hampir paling awal, berdasarkan bukti sejarah sekitar abad XI M.
Selanjutnya disebarkan sampai ke Jawa Barat ± abad XVI, yaitu berkaitan dengan
pengiriman tentara Kerajaan Demak ke Cirebon, Jayakarta, dan beberapa wilayah
Kerajaan Pajajaran yang berkaitan dengan perluasan wilayah perdagangan dan
pengaruh kekuasaan.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sunyoto. Atlas Wali
Songo. Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017.
Ashadi. “Dakwah Wali Songo
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Perubahan Bentuk Arsitektur Mesjid Di Jawa.”
Jurnal Arsitektur NALARs Vol. 12 No. 2 (2013).
Kholid, A R Idham. “Wali
Songo: Ekstitensi Dan Perannya Dalam Islamisasi Dan Implikasinya Terhadap
Munculnya Tradisi-Tradisi Di Tanah Jawa” 4 (2016).
Nurul Syalafiyah and Budi
Harianto. “Walisongo: Strategi Dakwah Islam di Nusantara.” J-KIs: Jurnal
Komunikasi Islam 1, no. 2 (December 31, 2020): 41–52.
Susmihara. “Walisongo Dan
Perkembangan Pendidikan Islam Di Nusantara.” Jurnal Rihlah Vol. 5 No. 2 (2017).
[1] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo
(Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017).
[2] A R Idham Kholid, “Wali Songo:
Ekstitensi Dan Perannya Dalam Islamisasi Dan Implikasinya Terhadap Munculnya
Tradisi-Tradisi Di Tanah Jawa” 4 (2016).
[3] Nurul Syalafiyah and Budi
Harianto, “Walisongo. Strategi Dakwah Islam di Nusantara,” J-KIs: Jurnal
Komunikasi Islam 1, no. 2 (December 31, 2020): 41–52”
[4] Nurul Syalafiyah and Budi
Harianto, “Walisongo.”
[5] Nurul Syalafiyah and Budi
Harianto, “Walisongo.”
[6] Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa,
(Pustaka Pelajar: 2000)
[7] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hal. 119.
[8] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hal. 120.
[9] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo.
(Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)
[10] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo.
(Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)
Komentar
Posting Komentar