SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN BARAT


A.    MUNCULNYA KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN BARAT

Masuknya Islam di Nusantara tidaklah dalam waktu yang bersamaan, begitu juga masuknya Islam di Kalimantan yang awalnya masih menganut kepercayaan leluhur, Hindu dan Buddha. Pada akhir abad ke-15, agama Islam masuk ke Kalimantan melalui 2 jalur. Jalur pertama, Islam dibawa melalui Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ketangan penjajahan Portugis membuat dakwah semakin menyebar di Pulau Kalimantan melaui para mubalig-mubalig dan komunitas Islam yang kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur kedua, dakwah Islam dibawa melaui para mubalig yang dikirim langsung melalui Jawa yang mencapai puncaknya ketika berdirinya Kerajaan Islam Banjar.[1]

Adapun menurut peneliti sendiri masuknya Islam di Pulau Kalimantan memang tidak lepas dari pengaruh para mubalig dan pedagang yang selain mealakukan perdagangan juga aktif dalam mensyiarkan agama Islam. Hal tersebut dikarenakan Pulau Kalimantan sendiri memiliki potensi perairan yang tinggi yang mana hal ini sesuai dengan jalur penyebaran Islam yaitu jalur laut ataupun sungai.[2]

Menurut Basuni, Islam mulai tersebar di kalangan penduduk lokal pada abad ke-10. Kemungkinan berikutnya, menurutnya, Islam masuk ke Kalimantan sekitar tahun 1250 M (abad ke[1]13) dan berkembang pesat setelah abad ke-16. Penyebaran Islam di kalangan penduduk Kalimantan mulai pada abad ke-10, sebagaimana disebutkan oleh Basuni, ditopang oleh adanya bukti arkeologis yang ditunjukkan oleh Uka Tjandrasasmita, yaitu batu nisan putri Sultan Abdul Majid bin Sultan Muhammad Shah tertanggal 440 H atau 1048 M. yang berada di pekuburan muslim di Bandar Seri Begawan. Meskipun angka di makam tersebut menunjukkan abad ke11, tetapi angka itu juga dapat dijadikan indikasi kuat adanya pemukiman muslim yang telah terbentuk pada abad ke-10. Apalagi makam itu disebut anak dari seorang sultan yang menunjukkan bahwa telah ada kerajaan Islam yang berdiri di wilayah itu. Jika menggunakan versi Ahmad Basuni ini, maka dapat disimpulkan bahwa kedatangan Islam di Kalimantan berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-10, Islam kemudian mulai diterima dan dianut oleh penduduk Kalimantan pada abad ke-11 hingga 15, kemudian Islam mulai berkembang pesat dan diterima secara masif mulai pada abad ke-16.[3]

Islamisasi raja di Kalimantan Barat dapat dilihat pada islamisasi di Sukadana. Menurut Muhammad Nur Hasan yang dikutip oleh Ajisman, Islam masuk ke wilayah Sukadana pada abad ke-16, yaitu pada masa kerajaan Hindu Sukadana yang kemudian beralih menjadi kerajaan Islam pada masa pemerintahan Panembahan Baruh. Panembahan Baruh dan rakyat Sukadana memeluk Islam pada masa itu.[4]

Para penyiar Islam datang ke Kalimantan sambil berdagang menyusuri sungai-sungai besar di Kalimantan. Secara berangsur[1]angsur pengaruh Islam masuk ke seluruh wilayah Kalimantan. Di Kalimantan timur misalnya, masuknya agama Islam di daerah ini ternyata tidak hanya di bawa oleh penyiar dari Gresik saja melainkan dari Bugis. Demikian pula di Kalimantan barat, datangnya pengaruh Islam berasal dari Palembang dan Semenanjung Malaka. Di Kalimantan tengah, agama Islam masuk melalui para pedagang Melayu. Mereka sambil berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam. Hal tersebut terjadi sekitar abad ke-16. Penyebarannya ke Kalimantan Barat antara lain antara lain melalui Palembang, sebagian dari Brunei (Kalimantan Utara) dan juga ada yang langsung dari tanah Arab. Penyebaran agama Islam telah berhasil memasuki istana-istana raja di Kalimantan Barat, dalam usaha mengajarkan ajaran-ajaran Islam ataupun dilakukan sambal berdagang.. Salah seorang yang berperan menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat ialah Habib Husein Alkadri. Beliau berasal dari Hadramaut, yaitu daerah di bagian selatan Jazirah Arab, kini wilayah Yaman Selatan. Letaknya di sekitar wadi Hadramaut yang merupakan satu dari sejumlah kecil sungai di negeri Arab yang selalu berair, sehingga daerah wadi ini merupakan daerah yang subur. Penduduk Hadramaut gemar berdagang dan berlayar karena letak daerahnya yang berada diujung selatan Jazirah Arab di teluk Aden yang merupakan jalur pelayaran internasional.[5]

 

B.    TERJALINNYA HUBUNGAN ANTAR KERAJAAN ISLAM

Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lain nya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikian misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Dalam rangka penyebaran Islam, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak untuk memperluas wilayah ke Sunda Kelapa.[6]

Alasan-alasan yang membuat kerajaan memilih unttuk menjalin hubungan berbeda-beda. Mungkin dua kerajaan yang berbatasan sama kuat, mungkin tidak ada pemimpin yang mempunyai ambisi politik menguasai wilayah yang lebih besar, mungkin raja masing-masing menantikan saat dan kesempatan yang baik untuk mengadakan penyerangan dan untuk sementara mengadakan hubungan persahabatan dahulu, mungkin pula kerajaantetangga yang lebih lemah mempunyai sekutu yang cukup kuat untuk membantu apabila ia diserang, dan mungkin pula ada faktor-faktor lain yang memutuskan kerajaan-kerajaan bersangkutan lebih sengang memelihara perdamaian daripada berperang satu sama lain.[7]

Pelajaran baik tentang adanya hubungan yang akrab antara kerajaan Islam yang satu dengan kerajan Islam lainnya yang ditujukan untuk memajukan bidang kebudayaan dan keagamaan. Kerajaan Islam Samudra Pasai dan kemudian menjadi Kerajaan Islam Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Mekkah pernah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam.[8]

 

C.    KONDISI SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT

Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Kalimantan Barat sebesar 59,72%, dan diikuti oleh agama lainnya. Adapun agama yang masuk kategori lainnya di Kalimantan Barat adalah Konghucu dan agama lokal yang secara tradisional dianut oleh Etnis Dayak yaitu Kaharingan. Agama Konghucu secara tradisional dianut oleh masyarakat terutama etnis Tionghoa di Kota Singkawang, bahkan kegiatan peringatan tahun baru Imlek dan tradisi Cap Gomeh dilaksanakan besar- besaran di Kota Singkawang ini. Adapun kepercayaan Kaharingan merupakan kepercayaan lokal yang masih dianut dan dilestarikan oleh suku Dayak terutama yang berada di pedalaman (Haryanto, 2012.a). Mozaik sosial budaya ini membangun keragaman masyarakat Kalimantan Barat.[9]

Guna melayani umat beragama dalam peribadatan, di lingkungan masyarakat juga ersedia fasilitas tempat ibadah. Jumlah tempat ibadah pada 2018 adalah sebagai berikut: masjid berjumlah 3.596, musala berjumlah 3.752, gereja Kristen berjumlah 3.062, gereja Katolik 2.853, pura berjumlah 21, vihara berjumlah 984, dan kelenteng ber- jumlah 76 unit. Jumlah-jumlah tersebut juga bersifat tentatif, karena data tiap kabupaten dan kota di Kalimantan Barat bersifat dinamis. Misalnya, jumlah klenteng yang terdata di Kota Singkawang melampaui jumlah data di Kalimantan Barat yaitu 270 klenteng sehingga Kota Singkawang sering disebut sebagai kota seribu klenteng (Haryanto, 2012).[10]

Kondisi yang beragam seperti halnya di Kalimantan Barat tentu rawan tmenyulut konflik sosial. Terlebih jika keragaman identitas sosial tersebut berkelindan dengan aspek sosial lain seperti politik dan ekonomi. Oleh karena itu, wilayah Kalimantan Barat ini pun tak lepas dari sejarah konflik sosial, berupa konflik komunal antaretnik yang berbeda. Konflik ini melibatkan penduduk suku asli Kalimantan, yaitu suku Dayak dan suku Melayu, melawan etnis pendatang yaitu etnis Madura. Kerusuhan yang di- akibatkan konflik tersebut pecah ketika terjadi saling tidak percaya antaretnis tersebut serta menganggap etnis lain sebagai penghalang dalam mencapai keinginan dari etnis tertentu ataupun dianggap sebagai pengganggd kehidupan etnis tersebut. Beberapa konflik di Kalimantan Barat ini melibatkan massa dalam jumlah cukup besar dan mengakibatkan puluhan ribu orang harus mengungsi, ratusan orang menjadi korban jiwa, serta tak terhitung pula korban harta benda.[11]


DAFTAR PUSTAKA

“Pasang Surut Peradaban Dalam Lintas Sejarah Kajian Sejarah Peradaban Islam.” Diakses 22 Mei 2023. https://www.google.co.id/books/edition/Pasang_Surut_Peradaban_Dalam_Lintas_Seja/1ws5e aaaqbaj?Hl=Id&Gbpv=1&dq=hubungan+antar+kerajaan+islam&pg=PA288&printsec=frontc over&bshm=bshwcqp/1.

“Sejarah nasional Indonesia: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia.” Diakses 22 Mei 2023. https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Nasional_Indonesia_Jilid_3_Zaman/J0RPEA AAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=hubungan+antar+kerajaan+islam&pg=PA242&printsec=front cover&bshm=bshwcqp/1.

“Sejarah Pendidikan Islam.” Diakses 22 Mei 2023. https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Pendidikan_Islam/RFZqEAAAQBAJ?hl=id &gbpv=1&dq=hubungan+antar+kerajaan+islam&pg=PA256&printsec=frontcover&bshm=bs hwcqp/1.

Abd. Rachman Abror. Pantun Melayu Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, t.t.

Ajisman Ajisman, “Perkembangan Lembaga Agama Islam di Kotamadya Pontianak pada Akhir Abad Ke 20,” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 2, no. 1 (2016): 334, https://doi.org/10.36424/jpsb.v2i1.77.

Eka Dolok Martimbang, Profil Insan Muslim Kalimantan. (Palangka Raya: CV Perak Nusantara. 2015)

Eko, Nugroho, Atmanto, dan Joko Tri Haryanto. Menyemai Damai Melalui Pendidikan Agama. Yogyakarta: DIVA Press, 2020.

Khairil Anwar, Kedatangan Islam Di Bumi Tambun BungaiCet 2, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan. 2005),

Muhammad Irsyad, “Masuk Dan Berkembangnya Islam Dan Sejarah Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat”, 2008

Putra, Purniadi, dan Aslan. Agama & Budaya Nusantara Pasca Islamisasi. Semarang: Penerbit: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press, 2020.

Rahmadi “Khazanah, Jurnal Studi Islam dan Humaniora, vol 18 (2), 2020.



[1] Eka Dolok Martimbang, Profil Insan Muslim Kalimantan. (Palangka Raya: CV Perak Nusantara. 2015), hlm. 3-4

[2] Khairil Anwar, Kedatangan Islam Di Bumi Tambun BungaiCet 2, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan. 2005), hlm.97)

[3] Rahmadi “Khazanah, Jurnal Studi Islam dan Humaniora, vol 18 (2), 2020 hal. 269

[4] Ajisman Ajisman, “Perkembangan Lembaga Agama Islam di Kotamadya Pontianak pada Akhir Abad Ke 20,” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 2, no. 1 (2016): 334, https://doi.org/10.36424/jpsb.v2i1.77.

[5] Muhammad Irsyad, “Masuk Dan Berkembangnya Islam Dan Sejarah Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat”, 2008.

[6] “Sejarah nasional Indonesia: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia,” diakses 22 Mei 2023, h. 288.

[7] “Pasang Surut Peradaban Dalam Lintas Sejarah Kajian Sejarah Peradaban Islam,” Diakses 22 Mei 2023, Https://Www.Google.Co.Id/Books/Edition/Pasang_Surut_Peradaban_Dalam_Lintas_Seja/1ws5eaaaqbaj?Hl=I d&Gbpv=1&Dq=Hubungan+Antar+Kerajaan+Islam&Pg=Pa288&Printsec=Frontcover&Bshm=Bshwcqp/1.

[8] “Sejarah Pendidikan Islam,” diakses 22 Mei 2023, h. 258.

[9] Purniadi Putra Dan Aslan, AGAMA & BUDAYA NUSANTARA PASCA ISLAMISASI (Semarang: Penerbit: Lembaga Studi Sosial Dan Agama (Elsa) Press, 2020), Hal.29.

[10] Nugroho Eko, Atmanto, dan Joko Tri Haryanto, Menyemai Damai Melalui Pendidikan Agama (Yogyakarta: DIVA Press, 2020), Hal.37-38.

[11] Abd. Rachman Abror, Pantun Melayu Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, t.t.). Hal.40-41.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERADABAN ISLAM

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA