PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

 

A.    ISLAM DI INDONESIA PADA MASA MODERN DAN KONTEMPORER

1.     Gerakan modern Islam: asal-usul dan perkembangan

Gerakan yang lahir di timur tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di minamgkabau, yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi social keagamaan, seperti sarekat dagang Islam (SDI) di bogor dan solo, persyarikatan ulama di majalengka jawa barat, muhamadiyah di Yogyakarta, persatuan islam di bandung dan masih banyak lagi yang lainnya.[1]

2.     Perjuangan kemerdekaan umat Islam

Periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Apa yang disebut dunia Muslim tidak lagi identik dengan dunia Arab, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari lanskap demografi negara-negara Barat.[2]

 

B.    PETA POLITIK UMAT ISLAM

Pemikiran politik modern di dunia Islam tumbuh dan berkembang sejak negara-negara dunia Islam bersentuhan dengan dunia Barat, terutama sejak jatuh ke dalam imperialisme Barat. Munawir Sjadzali (1993:115) mencatat, ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Islam kontemporer, yang mulai muncul pada waktu menjelang akhir abad ke-19 M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, sehingga berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.[3]

Menurut Dien Syamsuddin1, pemikiran politik Islam modern dapat diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu: (1) kategori rejeksionis; (2) kategori akomodatif; dan (3) kategori sintesis antara rejeksionis dan akomodatif.[4] Politik Islam (partai Islam) di masa awal memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Bahkan Syahrir pernah secara terang-terangan mengatakan saat desakan untuk segera dilakukan pemilu setelah Agresi Militer Belanda II berhasil dikalahkan bahwa jika pemilu dilaksanakan saat itu maka yang menang adalah partai Islam. Ketika itu politik Islam diwakiliki oleh Partai Masyumi dan kemudian menjadi dua: Partai Masyumi mewakili kelompok modernis dan Partai NU mewakili kelompok tradisonalis. Pada masa Orde Lama, Partai Islam mengalami periferalisasi secara berangsur-angsur sampai dibubarkan oleh Soekarno dan memenjarakan salah satu tokoh politik Islam kharismatik M. Natsir.[5]

Menurut William E.Sephard konsep politik Islam melahirkan paradigma tipologi pada politik Islam. Paradigma tersebut lahir berdasarkan pendekatan dan respon atas pengaruh Barat dan metode Ijtihad. Berikut tiga paradigma yang terbentuk: Pertama, Paradigma Integralistik (Unifed Paradigm) politik menyatu dengan agama. Persepsi itu menjelaskan bahwa agama memberikan corak dominan atas negara. Kedua, Paradigma Simbiotik (Symbiotic paradigm) hubungan antara politik dan agama saling bertimbal balik, sistem yang menyeimbang kedua hal tersebut agar harmoni. Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistyc Paradigm) tidak ada hubungannya antara politik dan agama, sehingga politik dan agama tidak dapat dijadikan satu hal ini dikarenakan titik fokus yang berbeda.[6]

 

C.    HUBUNGAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL

Abdurrahman Wahid mengemukakan pandangannya terkait dengan persentuhan agama (Islam) dengan budaya. Bahwa agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing. Independensi antara agama dan budaya ini bisa dibandingkan dengan independensi antar filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisadikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Jadi antara keduanya terdapat perbedaan, agama (lslam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cendrung menjadi permanen. Sedangkanbudayaadalah buatan manusia, sehingga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cendrung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.[7]

Hubungan budaya lokal dan Islam memang berjalan dengan sangat mulus di karenakan berada dalam tatanan simbol yang dalam proses islamisasi nya menekankan pada keharmonisan, tradisi lokal adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Dari segi doktrinal Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika pesan transendental tersebut sampai ke tataran praktis komunitas umatnya maka warna Islam jadi beragam oleh karena itu sejajar dengan interpretasi akibat perbedaan persepsi, dengan demikian harus di lihat sebagai sistem dialektif mencakup idealitas dan realitas mencakup dimensi kepercayaan.[8]

Islam dan budaya lokal dua hal yang hidup secara bersama tanpa ada pertentangan dan kebuayaan Islam adalah kebudayaan yang di dasari oleh ajaran Islam akan tetapi tidak melepaskan produk lokalnya. Di mana sifat ajaran agama Islam yang fleksibel yang selalu menyesuaikan diri dengan keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi relasi Islam dengan kebudayaan tidak memiliki rintangan jikalau tidak selektif, akan terjadi kehawatiran karena tercampur baurnya kebudayaan dengan ajaran Islam sehingga ajaran Islam tidak lagi murni. Dikerenakan Islam di dominasi dengan kebudayaan. Dampak dari hal orang akan menganggap agama hanya akan menjadi obat di kala kesusahan dan menjadikan agama tak bermakna dikala kesenangan.[9]


D.    PERKEMBANGAN PEMIKIRAN PARA INTELEKTUAL ISLAM

Menurut Ibn Taimiyyah bahwa ijtihad adalah hak mutlak bagi mereka yang mampu dan sudah terjangkau kapasitas intrlrktual manusia. Ajaran Ibn Taimiyyah yang paling pokok adalah mensucikan kaidah Islam sehingga sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dengan semboyan “kembali” kepada Qur’an dab Hadits. Oleh karena itu, semua yang mneyimpang dari garis al-Qur’an dan Sunnah diserangnya dengan berani. Dia juga menyerang kaum filsafat, seperti Ibnu Sina dan Ibnu al-Arabi, dan menyerang kaum sufi dan mutakalimin yang dipandangnya muncul dari lembah yang sama. Imam al-Gazali pun tidak luput dari kecamannya larna menurut penelitiannya dua kitabnya yang terkenal Al-Munqiz Minadholaal dan Ihyaa Ulumuddin berisikan hadits yang tak sah (palsu). Pemikiran dan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyyah dan Wahhabi dapat menyebar ke Nusantara melalui beberapa tokoh setelah kembali dari belajar di Haramain. Misalnya, pada tahun 1802 tiga orang haji pribumi kembali kembali dari Mekkah ke kampung halaman mereka di wilayah Minangkabau. Mereka adalah Hadji Miskin, Hadji Muhammad Arif, dan Hadji Abdurrahman yang tampaknya sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan Gerakan Wahabi di Jazirah Arab. Mereka membawa gagsan-gagasan yang sama ke wilayah ke wilayah mereka masing masing Tindakan ini disusul dengan penaklukan setiap negari kira-kira secara sistematik satu demi satu dimana mereka menerapkan secara ketat hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[10]


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fadhil. “Peta Pemikiran Politik Islam Modern.” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

Ahmad Arifai. “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal.” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 5.

Deliar Noer, Hamzah Haz, Bahtiar Effendy, and Kuntowijoyo. Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999.

Eka Putri Apliria. “Penggambaran Realitas Politik Umat Islam Indonesia Dalam Wacana Media.” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020.

Hamzah Junaid. “Kajian Kritis Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal.” Jurnal Diskursus Islam 1, no. 1 (2013): 61.

Miftahuddin. Sejarah Perkembangan Intelektual Islam Di Indonesia. Yogyakarta: UNY Press, 2017

Mudzakkir, Amin. “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer.” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11, no. 1 (June 3, 2016): 31–48. https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.31-48.

Riyadi, Ahmad Didi, Feni Andri Mulyani, and Ismi Rohimatun Ni’mah. “Modern Kontemporer Pemikiran Dalam Islam Pemikiran Islam Modern Dan Kontemporer.” Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 1, no. 2 (April 16, 2023): 360–68. https://doi.org/10.55606/religion.v1i2.90.



[1] Ahmad Didi Riyadi, Feni Andri Mulyani, dan Ismi Rohimatun Ni’mah, “Modern Kontemporer Pemikiran Dalam Islam Pemikiran Islam Modern Dan Kontemporer,” Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 1, no. 2 (16 April 2023): h.31, https://doi.org/10.55606/religion.v1i2.90

[2] Amin Mudzakkir, “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer,” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11, no. 1 (June 3, 2016): h. 35, https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.31-48.

[3] Abdul Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

[4] Abdul Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

[5] Deliar Noer et al., Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), 88.

[6] Eka Putri Apliria, “Penggambaran Realitas Politik Umat Islam Indonesia Dalam Wacana Media,” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020.

[7] Hamzah Junaid, “Kajian Kritis Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal,” Jurnal Diskursus Islam 1, no. 1 (2013): 61.

[8] Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 8.

[9] Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 12.

[10] Miftahuddin, Sejarah Perkembangan Intelektual Islam Di Indonesia (Yogyakarta: UNY Press, 2017), 45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERADABAN ISLAM

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA