KERAJAAN ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA
A. MUNCULNYA KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA, JAWA, SULAWESI,
KALIMANTAN DAN MALUKU
1. Kerajaan
Islam di Sumatra
Kerajaan
Islam pertama di Sumatera didirikan pada abad ke-13 di daerah Pasai, Aceh.
Kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Samudra Pasai, yang menjadi pusat
perdagangan di Asia Tenggara dan berhasil menarik perhatian pedagang dari Arab,
India, dan Tiongkok. Selain Pasai, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul
di Sumatera antara lain Kerajaan Darussalam, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan
Aceh, dan Kerajaan Indrapura. Menurut buku "Sejarah Kerajaan Aceh: Abad
ke- XIII sampai dengan Abad ke- XX" oleh Abdul Haris Nasution, Kerajaan
Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat dan mampu menguasai sebagian besar wilayah
Sumatera. Selain itu, kerajaan Aceh juga dikenal sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan dan seni Islam di Asia Tenggara.[1]
Pendapat
yang menyatakan bahwa Islam sudah berkembang sejak awal abad ke-13 M, didukung
oleh cerita Cina dan pendapat Ibn batutah, seorang pengembara terkenal asala Maroko,
yang pada pertengahan abad ke-14 M ( tahun 746 H / 1345 M ) mengunjungi
Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera
Pasai diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh.
Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Samudera
Pasai mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim
yakni Husein dan Sulaiman. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir
seabad lamanya disiarkan di sana.[2]
2. Kerajaan
Islam di Jawa
Kerajaan
Islam pertama di Jawa didirikan pada abad ke-16 di daerah Demak. Kerajaan ini
menjadi pusat Islamisasi di Jawa dan berhasil mengislamkan sebagian besar
penduduk pulau Jawa. Selain Demak, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul
di Jawa antara lain Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan
Yogyakarta. Menurut jurnal "Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan
Yogyakarta" oleh Andi Faisal Bakti, kesultanan Yogyakarta merupakan salah
satu kesultanan yang meneruskan tradisi kerajaan Islam di Jawa. Kesultanan ini
berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda
dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Jawa.[3]
Ada
yang berpendapat bahwa kerajaan Demak berdir pada tahun 1518 M. Hal ini
berdasarkan bahwa pada tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya masa
pemerintahan Prabu Udara Brawijaya VII yang mendapat serbuan tentara Raden
Fatah dari Demak. Berdirinya kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam
pertama di Jawa yang menyiaran agama Islam semakin luas serta pendidikan dan
pengajaran Islam pun bertambah maju. Sistem pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran agama Islam di Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di
Aceh yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di
suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang badal
untuk menjadi seorang guru yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta
sumber agama Islam. Wali suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan
dengan ditambah nama daerahnya, seperti Sunan Gunung Jati.[4]
3. Kerajaan
Islam di Sulawesi
Kerajaan
Islam pertama di Sulawesi didirikan pada abad ke[1]16
di daerah Bone. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Sulawesi dan berhasil
menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Selain Bone,
kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sulawesi antara lain Kerajaan
Gowa, Kerajaan Tallo, dan Kesultanan Buton. Menurut buku "Sejarah Sulawesi
Selatan" oleh Andi Zainal Arifin, Kerajaan Gowa merupakan salah satu
kerajaan Islam terbesar di Sulawesi. Kerajaan ini berhasil mempertahankan
kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Sulawesi.[5]
Proses permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan ditunjang dengan sistem pendekatan dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal. Hal ini memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu istana raja.[6]
4. Kerajaan
Islam di Kalimantan
Kerajaan
Islam pertama di Kalimantan didirikan pada abad ke-15 di daerah Banjarmasin.
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Kalimantan dan berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan. Selain Banjarmasin,
kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Kalimantan antara lain Kerajaan
Kutai, Kerajaan Bulungan, dan Kesultanan Pontianak. Menurut buku "Sejarah
Kerajaan Banjar" oleh Bambang Setyawan, Kerajaan Banjar merupakan salah
satu kerajaan Islam terbesar di Kalimantan. Kerajaan ini berhasil
mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi
pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Kalimantan.[7]
5. Kerajaan
Islam di Maluku
Kerajaan
Islam pertama di Maluku didirikan pada abad ke-15 di daerah Ternate. Kerajaan
ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan berhasil menguasai sebagian
besar wilayah Maluku. Selain Ternate, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang
muncul di Maluku antara lain Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, dan
Kesultanan Tidore. Menurut jurnal "Kerajaan Islam di Maluku: Sebuah Studi
Historis" oleh Ahmad Ridwan, Kesultanan Tidore merupakan salah satu
kesultanan yang paling kuat di Maluku. Kesultanan ini berhasil mempertahankan
kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Maluku.[8]
B. MUNCULNYA SISTEM BIROKRASI KERAJAAN ISLAM
Sistem birokrasi kerajaan Islam muncul
sebagai bentuk organisasi administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh
penguasa-penguasa Islam pada masa lalu. Sistem birokrasi ini bertujuan untuk
mempermudah pengelolaan dan pengaturan tugas[1]tugas
pemerintahan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pemerintahan. Menurut buku "Sejarah Pemerintahan Islam" oleh Prof.
Dr. Hamka, sistem birokrasi kerajaan Islam terdiri dari tiga bagian utama,
yaitu kepala pemerintahan (sultan atau raja), menteri-menteri atau
pejabat-pejabat tinggi, dan jabatan-jabatan administratif. Setiap bagian
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain.[9]
Kerajaan-kerajaan tradisional di
Indonesia, pada umumnya terbagi dalam dua kategori, yaitu kerajaan maritim dan
kerajaan pedalaman atau agraris. Dalam kerajaan maritim, birokrasi ditujukan
untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan kerajaan agraris
memfokuskan pada ekonomi pertanian. Kerajaan-kerajaan tradisional yang paling
berpengaruh di Jawa, termasuk pengaruh Hindu-Budha dan Islam, pada umumnya
bersifat agraris. Dalam membangun sistem politik yang dapat menjamin stabilitas
sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, perlu dilakukan usaha menyehatkan
birokrasi pemerintahan dengan sistem birokrasi modern yang efektif dan efisien.
Namun perlu diketahui munculnya birokrasi modern merupakan sebuah perjalalanan
panjang dari suatu negara, yang mana sebelumnya menggunakan sistem birokrasi
tradisional.[10]
C. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI WARISAN PERADABAN
KOLONIAL
Kondisi sosial masyarakat yang ada di
gampong (penduduk asli Banda Aceh), dimana masyarakatnya masih kental dengan
sikap solidaritas antar sesama, dan setiap kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan yang ada di gampong sangat berjalan dan dipelihara dengan baik.
Kegiatan-kegiatan tersebut seperti wirid ibu-ibu, gotong royong, takziah pada
orang meninggal, menjenguk orang sakit, pengajian di masjid, serta kegiatan
musyawarah antar masyarakat dan lain sebagainya. Kebudayaan di kota Banda Aceh
masih ada dan dijaga sampai sekarang secara turun temurun serta adat istiadat
yang terus dilestarikan. Kebudayaan tersebut masih dilakukan sampai sekarang
seperti beberapa perayaan yang dilaksanakan, yaitu seperti khanduri asyura yang
dilaksanakan setiap 10 Muharram, khanduri molod yang dilaksanakan di masjid
dengan ikut mengundang beberapa masyarakat gampong, tetangga, khanduri apam
yang dilaksanakan di rumah masyarakat. Serta perayaan lain yang masih
menjunjung tinggi kebersamaan antara masyarakat satu dengan lainnya. Kebudayaan
lain yang ada di kota Banda Aceh pada saat ini yang masih dapat kita lihat
seperti peninggalan kolonial. Peninggalan ini masih terjaga dan dilestarikan
hingga sekarang, dan peninggalan tersebut dijadikan sebagai objek wisata budaya
seperti Museum Aceh, Masjid Raya Baiturrahman dan lain-lain. Dari beberapa
peninggalan tersebut masyarakat dari dalam daerah maupun luar daerah bahkan
wisatawan asing datang untuk mengunjungi serta mempelajari sejarah dari
peninggalan tersebut.[11]
Menurut buku "Sejarah Budaya
Indonesia" karya Prof. Dr. Koentjaraningrat, kolonialisme membawa
perubahan budaya yang signifikan di Indonesia, termasuk dalam hal nilai-nilai,
kebiasaan, dan norma-norma sosial. Beberapa bentuk budaya lokal dianggap
sebagai "primitif" dan "terbelakang" oleh kolonialisme dan
harus ditinggalkan, sementara beberapa budaya Barat diperkenalkan sebagai
norma-norma sosial yang lebih maju.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Anzar. “Islamisasi
di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”. Paramita Vol. 26, No. 1 (2016).
Arifin, Andi Zainal. Sejarah
Sulawesi Selatan. Makassar: Pustaka Refleksi (2012).
Bakti, Andi Faisal. Islamisasi
dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka (2004).
Bakti, Andi Faisal. Islamisasi
dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka (2004).
Hamka. Sejarah Pemerintahan
Islam. Jakarta: Gema Insani Press (1994).
Koentjaraningrat. Sejarah
Budaya Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka (2002).
Nasution, Abdul Haris. Sejarah
Kerajaan Aceh: Abad ke- XIII sampai dengan Abad ke-XX. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional (2003).
Rahmadhana, Aisarah.
“Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”.
(2020).
Rahmadhana, Aisarah.
“Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”.
(2020).
Ridwan, Ahmad. Kerajaan Islam
di Maluku: Sebuah Studi Historis. Jurnal Sejarah, Vol. 18 (2), pp. 199-215
(2017).
Setianto, Yudi. “Birokrasi
Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”. Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli
2010).
Setyawan, Bambang. Sejarah
Kerajaan Banjar. Jakarta: Pustaka Larasan (2011).
Zirani, Rasyid. “Kerajaan
Islam di Indonesia Sebelum Penjajahan Belanda”.
[1] Abdul Haris Nasution, Sejarah
Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX, Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional (2003).
[2] Rasyid Zirani, “Kerajaan Islam di
Indonesia Sebelum Penjajahan Belanda”.
[3] Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan
Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004)
[4] Hasnida, “Sejarah Perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa
Kolonialisme”, Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).
[5] Andi Zainal Arifin, Sejarah
Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).
[6] Anzar Abdullah, “Islamisasi di
Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)
[7] Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan
Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).
[8] Ahmad Ridwan, Kerajaan Islam di
Maluku: Sebuah Studi Historis, Jurnal Sejarah Vol. 18 (2), pp. 199-215 (2017).
[9] Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press (1994).
[10] Yudi Setianto, “Birokrasi
Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli
2010).
[11] Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan
Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).
[12] Koentjaraningrat, Sejarah Budaya
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka (2002).
Komentar
Posting Komentar