ISLAM DI ASIA TENGGARA

 

 

A.    SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI WILAYAH ASIA TENGGARA

Awal mula kedatangan Islam di Asia Tenggara memunculkan perdebatan panjang diantara para sejarawan yang mengkaji sejarah Islam di-Asia Tenggara, hal ini terjadi karena memang objek yang diteliti adalah sejarah, dan kejadiannya pun sudah lampau, sehingga tidak ditemukan nasumber atau bukti yang menjelaskan pastinya Islam di-Asia Tenggara, bukan hanya cerita turun-temurun yang begitu banyak tersebar pada ingatan nenek moyang kita.[1]

Perdebatan tentang awal mula hadirnya Islam di wilayah ini, setidaknya memunculkan beberapa teori, dengan banyak sejarawan yang saling mendukung dan saling membantah. Perdebatan itu berada pada beberapa pertanyaan pokok, kapan, dimana, dari mana, dan oleh siapa, Islam hadir ke Asia tenggara. Perdebatan ini, setidaknya dimulai pada abad ke-19. Ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke kawasan Asia Tenggara, seperti teori kedatangan Islam ke Asia Tenggara dari India, Arab dan Persia.[2]

1.     Teori India

Teori India yang secara umum menyatakan bahwa Islam berasal dari India. Meskipun demikian, para sarjana pendukung teori ini masih memperdebatkan daerah-daerah di India (Anak Benua India) yang menjadi asal-usul, para pembawa dan kurun waktu kedatangan Islam. Perbedaan ini merupakan konsekuensi dari perbedaan alat bukti historiografi yang digunakan dan perbedaan penafsirannya. Kebanyakan sarjana orientalis yang menekuni kajian Islam di Asia Tenggara mendukung Teori India dan berpendapat bahwa tempat asal-usul agama Islam di Kepulauan Nusantara adalah dari Anak Benua India (bukan Arab atau Persia). Teori ini pertama kali diungkapkan oleh Pijnappel yang merupakan professor pertama tentang studi Melayu di Universitas Leiden. Pijnappel berargumen bahwa penyebaran Islam ke seluruh Nusantara berafiliasi pada madzhab fiqh Syafi’i Arab dari Gujarat dan Malabar. Hal ini dikarenakan daerah-daerah tersebut sangat sering ditemukan dalam sejarah awal Nusantara. Meskipun demikian, Pijnappel tetap beranggapan bahwa para da’i (proselytizer) yang awal mula menyebarkan Islam adalah orang-orang Arab dari Gujarat dan Malabar, bukan orang-orang India sendiri.[3]

2.     Teori Arab

Teori ini dikemukakan oleh J. Crawfurd, S. Keyzer, G.K. Niemann, J.J. Hollander, P.J. Veth, al-Attas, dan beberapa sejarawan Indonesia. Secara spesifik T.W Arnold menduga berasal dari Coromandel dan Malabar atas dasar kesamaan mazhab dan terbukanya jalur perdagangan dari Coromandel ke Nusantara. Arnold juga tidak bisa memungkiri akan kemungkinan Islam berasal langsung dari Arabia, karena sebab Arabia telah sibuk dalam perdagangan lintas negara sejak abad 1 H, hal ini didukung oleh sumber-sumber China tentang adanya pedagang Arab menjadi pemimpin dalam pemukiman masyarakat Muslim di pesisir Sumatra. Disimpulkan bahwa literatur yang diproduksi oleh para ulama-ulama awal dipengaruhi oleh tradisi Arab dan bukan India. Adapun beberapa bukti dari teori ini yaitu:

- Telah ada perkampungan Arab di Sumatera (Barus) pada 625 M.

- Persamaan penulisan dan kesusastraan Asia Tenggara dan Arab.

- Karya-karya yang menceritakan pengislaman raja oleh Syeikh dari tanah Arab, misalnya hikayat raja-raja Samudera Pasai mengatakan Raja Malik diislamkan oleh ahli sufi dari Arab yaitu Syeikh Ismail.[4]

3.     Teori Persia

Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Persia, bukan India atau Arab. Teori ini didasarkan pada kesamaan unsur budaya Persia, khususnya Syiah yang ada dalam unsur kebudayaan Islam Nusantara, khususnya di Indonesia dengan Persia. Diantara pendukung teori ini adalah Hoesin Djajadiningra yang menyatakan tiga alasan. Pertama, ajaran manunggaling kawula gusti Sheikh Siti Jenar dan waḥdah al-wujud Hamzah al-Fansuri dalam mistik Islam (sufisme) Indonesia adalah pengaruh sufisme Persia dari ajaran waḥdah al-wujud al-Hallaj Persia. Kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab, terutama untuk tanda bunyi harakat dalam pengajaran al-Qur’an sepeti kata “jabar” dalam bahasa Persia untuk kata “fathah” dalam bahasa Arab, kata “jer” dalam bahasa Persia untuk “kasrah” dalam bahasa Arab, dan pes dalam bahasa Perisa untuk “ḍammah” dalam bahasa Arab. Ketiga, tradisi peringatan 10 Muharram atau ‘Asy-syura sebegai hari peringatan Syiah terhadap syahidnya Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Teori Persia ini dibantah oleh Saifuddin Zuhri yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Kepulauan Nusantara pada abad ketujuh Hijriyah, yaitu masa kekuasaan Bani Umayyah, sehingga tidak mungkin Islam berasal dari Persia pada saat keuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab.[5]

Islam masuk ke Asia Tenggara melalui suatu proses damai yang berlangsung selama berabad-abad. Penyebaran Islam di kawasan ini terjadi tanpa pergolakan politik atau bukan melalui ekspansi pembebasan yang melibatkan kekuatan militer, pergolakan politik atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar negeri. Melainkan Islam masuk melalui jalur perdagangan, perkawinan, dakwah dan pembauran masyarakat Muslim Arab, Persia dan India dengan masyarakat pribumi. Watak Islam seperti itu diakui banyak pengamat atau “orientalis” lainnya di masa lalu, di antaranya, Thomas W. Arnold. Dalam buku klasiknya, The Preaching of Islam, Arnold menyimpulkan bahwa penyebaran dan perkembangan historis Islam di Asia Tenggara berlangsung secara damai.[6]

Perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari proses islamisasi massifnya kerajaan Islam (kesultanan). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peranan tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai sebagai institusi politik Muslim, pembentukan dan pengembangan istitusi-institusi Muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam. Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional.[7]

A.H. Johns berpendapat bahwa para sufí berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Asia Tenggara setidaknya sejak abad ke-13, sehingga pengaruh Islam keliatan lebih nyata. Hal ini disebabkan oleh karena para sufí tersebut menyampaikan Islam dengan cara yang menarik antara lain dengan menekankan kontiunitas antara budaya dan praktik keagamaan lokal. Misalnya memperkenalkan Islam dengan nuansa tasawuf seperti mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks. Selain itu, mengapa Islam dapat diterima dengan mudah sebagai agama, antara lain karena Islam mengajarkan toleransi dan persamaan derajat di antara sesama, sementara ajaran Hindu menekankan perbedaan derajat manusia, sehingga ajaran Islam sangat menarik perhatian penduduk lokal.[8]


B.    KEMAJUAN ISLAM DI ASIA TENGGARA

Suatu kenyataan historis yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya, bahwa masyarakat Islam telah berkembang di Asia Tenggara sejak ratusan tahun yang lalu. Meskipun demikian, seperti telah dikemukakan hanya tiga negara yang terdapat di kawasan Asia Tenggara ini, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam saja yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini telah memberikan suatu gambaran yang dapat dipahami, bahwa perkembangan masyarakat Islam di sejumlah negara di kawasan ini selain pada tiga negara yang telah disebutkan, dari segi kuantitasnya dapat dikategorikan masih dalam tahap awal, sebab perkembangan masyarakat Islam pada umumnya sesuai dengan realitas sejarah, memang berawal dari jumlah yang minoritas kemudian dalam perkembangan selanjutnya telah menjadi kelompok masyarakat yang mayoritas.[9]

Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Asia Tenggara terutama ter-hadap etnis Melayu (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Filipina, dan Thailand), tidak terlepas dari proses masuknya Islam pada Abad ke 7 Masehi bertepatan dengan makin meluasnya penaklukan kekhal-ifahan Islam di Semenanjung Arab.[10]

Sejak pergantian abad ke-20 hingga saat ini, kehidupan beragama di masyarakat Brunei telah mengalami perubahan yang luar biasa, baik dari segi pertumbuhan kelembagaan maupun rangkuman nilai-nilai reformis. Ketika Inggris tiba untuk menyelamatkan Brunei, sebagian besar penduduk Muslim negara itu melihat ke arah mereka. Brunei benar-benar menjadi Darussalam (negara yang aman) dari berbagai guncangan dan tragedi. Karena kurangnya zhu’u zhanny (kata-kata buruk) berlebihan yang ditujukan kepada Inggris, di sinilah penduduk Muslim Brunei membedakan dirinya dan menjadi bukti bahwa Islam dapat berkembang di sana tanpa hambatan. Oleh karena itu, terbukti bahwa sejak masuknya Islam hingga masa pemerintahan Sultan Haji Omar Ali Saifuddien, Islam di Brunei mengalami perkembangan yang bersiklus.[11]

Kesultanan lainnya yang memiliki peran penting terhadap kemajuan Islam di Asia Tenggara adalah Kesultanan Sulu di Filipina. Seperti halnya negara Indonesia, Filipina juga terdiri atas beberapa pulau besar dan kecil, yang paling besar ialah Pulau Luzon dan Mindanao, sedangkan pulau kecilnya, antara lain Mindoro, Panay, Negros, Cebu, Bohol, Leyte, Samar. Masbate, dan Palawan, dengan demikian Filipina mempunyai kelompok suku/ras, termasuk masyarakat muslim yang beraneka macam, kemudian dipersatukan oleh sultan-sultan Sulu, yang dipelopori Sultan Sharif sebagai sultan pertama Sulu.[12]

              Pemerintah Singapura juga mendukung perkembangan Islam sebagai salah satu agama yang diakui di sana, antara lain dengan membentuk lembaga Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) tahun 1968, dalam rangka memperjuangkan hak-hak dan kepentingan masyarakat muslim di Singapura, kemudian mendirikan Himpunan Dakwah Islam Singapura (JAMIYAH) dan Association of Muslim Profesionals (AMP), pada bulan Oktober 1991, selain itu terdapat pula lembaga pendidikan MENDAKI yang diperuntukkan bagi anak-anak muslim di Singapura.[13]

 

C.    MODERNISASI ISLAM DI ASIA TENGGARA

Penyebaran dan pengaruh pembaharuan Islam modern di Asia Tenggara sejak awal abad ke-20, dimana saat itu terjadi gerakan Nasional oleh negara-negara jajahan, termasuk negara islam. Pada masa itu negara-negara islam ditandai dengan kebangkitan dan pembaruan dalam bidang agama yang dipelopori oleh gagasan pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam. Tatkala seorang murid Muhammad Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.[14]

Tidak diragukan lagi bahwa media cetak merupakan perangkat yang instrumental dan sangat efektif dalam penyebaran ide-ide kaum pembaru atau modernis di Asia Tenggara, terutama di dunia Melayu-Indonesia, dengan begitu karya Muhammad Abduh tidak hanya memengaruhi secara langsung penyebaran pembaruan Islam lewat artikel-artikelnya, tetapi yang tak kalah pentingnya juga merangsang penerbitan jurnal dengan semangat yang sama di Asia Tenggara, terutama di kawasan Melayu-Indonesia.[15]


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Faizal, and Rifki Abror Ananda. “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara.” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.

Arbain, Muhammad. “Dinamika Perkembangan Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.” Borneo International Journal of Islamic Studies Vol. 2(1) (November 2019). https://bijis.iain[1]samarinda.ac.id.

Fadhly, Fabian. “Pemahaman Keagamaan Islam Di Asia Tenggara Abad XIII-XX” Vol. 18, no. No. 1 (August 2018).

Gilang Ramadhan. “Sejarah Dan Kemajuan Islam DiAsia Tenggara.” Jurnal islamiah 12 (2019).

Helmiati. Sejarah Islam Asia Tenggara. Cetakan 1. Riau: Nuansa Jaya Mandiri Pekanbaru, 2014.

Hidayah, Widayatul, and Chuzaimah Batubara. “STUDI KAWASAN DALAM SEJARAH ISLAM DI ASIA TENGGARA” Vol. 3, no. No. 1 (2022).

Jumal Ahmad. “Islam Asia Tenggara : Akar Histori Dan Distingsi.” Jurnal Ahman (2018).

Kusman, Agus. “Islam di Asia Tenggara” (n.d.).

M., M. Dahlan. “DINAMIKA PERKEMBANGAN ISLAM DI ASIA TENGGARA PERSEPEKTIF HISTORI” Vol XIII, no. No. 1 (2013).

Mochammad Nginwanun Likulhil Mahhamid (terakhir). “ISLAM DALAM BINGKAI SEJARAH ASIA TENGGARA PERSEPEKTIF SAIFULLAH DALAM BUKU SKI DI ASIA TENGGARA” Vol. 7, no. No. 1 (June 2022).

Saleh, Hairus. “Dinamika Historis dan Distingsi Islam Asia Tenggara.” Journal of Islamic History 1, no. 2 (November 27, 2021): 170– 199.



[1] Hairus Saleh, “Dinamika Historis dan Distingsi Islam Asia Tenggara,” Journal of Islamic History 1, no. 2 (November 27, 2021): 170–199.

[2] 2 Saleh, “Dinamika Historis dan Distingsi Islam Asia Tenggara.”

[3] Faizal Amin, “Kedatangan Dan Penyebaran Islam DiAsia Tenggara: Telaah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Di Nusantara,” Jurnal Analisis Islamisasi 8, no. 2 (2018).

[4] Saleh, “Dinamika Historis dan Distingsi Islam Asia Tenggara.”

[5] 5 Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.

[6] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Cetakan 1 (Riau: Nuansa Jaya Mandiri Pekanbaru, 2014), hlm. 8

[7] Muhammad Arbain, “Dinamika Perkembangan Pendidikan Islam Di Asia Tenggara,” Borneo International Journal of Islamic Studies Vol. 2(1) (November 2019), https://bijis.iain-samarinda.ac.id.

[8] Agus Kusman, “Islam di Asia Tenggara”.

[9] M. Dahlan M., “DINAMIKA PERKEMBANGAN ISLAM DI ASIA TENGGARA PERSEPEKTIF HISTORI” Vol XIII, no. No. 1 (2013): h. 113.

[10] Fabian Fadhly, “Pemahaman Keagamaan Islam Di Asia Tenggara Abad XIII-XX” Vol. 18, no. No. 1 (August 2018).

[11] Widayatul Hidayah and Chuzaimah Batubara, “STUDI KAWASAN DALAM SEJARAH ISLAM DI ASIA TENGGARA” Vol. 3, no. No. 1 (2022).

[12] Mochammad Nginwanun Likulhil Mahhamid (terakhir), “ISLAM DALAM BINGKAI SEJARAH ASIA TENGGARA PERSEPEKTIF SAIFULLAH DALAM BUKU SKI DI ASIA TENGGARA” Vol. 7, no. No. 1 (n.d.): Hal. 46-52

[13] Mochammad Nginwanun Likulhil Mahhamid (Terakhir), “Islam Dalam Bingkai Sejarah Asia Tenggara Persepektif Saifullah Dalam Buku Ski Di Asia Tenggara,” h. 49.

[14] Jumal Ahmad, “Islam Asia Tenggara: Akar Histori dan Distingsi,” Jurnal Ahman, 2018.

[15] Gilang Ramadhan, “Sejarah dan Kemajuan Islam di Asia Tenggara,” Jurnal islamiah 12 (2019).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERADABAN ISLAM

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA